Minggu, 26 Oktober 2008

me..,,,,

ada saatnya ketika diri merasa asing dengan keadaan...sadar akan semuanya telah berubah....sahabat, kuliah, amanah....semuanya gak tahu berada di daerah roda kehidupan mana sekarang..,,,apakah bagian roda kehidupan atas? apakah bagian roda kehidupan bawah??

aku...sedang ajeg untuk semua hal pada detik ini

aku...sedikit lelah dengan zhan zhan ku ndiri

aku...harus bisa mengambil prioritas

aku...sekarang punya dua malaikat kecil yang dipercaya untuk aku ajarkan semua hal...titipan ini sangat membantuku merefresh pikiran ku....mereka adalah 2 anak dari seorang ibu yang mempercayai ku menjadi guru privat TPA....

aku...ingin menjadi guru TPA yang ceria buat mereka

aku...gak akan pernah mau meninggalkan JAG selamanya....

asing didunia


insya Allah

karena dunia ini TOXIC TOXIC TOXIC yang laten bagi manusia yang menghendakinya.





tertanda :
seseorang yang penuh harapan dan impian menjadi seorang MUJAHIDAH

Kekuatan Itu Ada Pada Al Qur’an Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)

Terdapat lebih dari 19 ayat yang menyebut kata “ruh” dalam Al-Qur’an. Maksud yang terkandung dari istilah ini tidak keluar dari arti malaikat Jibril yang biasanya ditambah dengan istilah Ruhul Quds atau Ar-Ruhul Amin dan maksud yang kedua adalah Al-Qur’an. Dan hanya satu ayat yang bermaksud roh dalam arti yang sebenarnya, yaitu pada ayat ini. Meskipun demikian terdapat juga ulama tafsir seperti yang dinukil oleh Imam Al-Qurthubi yang memahami ruh dalam arti analogis yaitu Al-Qur’an. Maka pengertian ayat ini menurut Al-Qurtubi secara analogis adalah:

“Dan mereka bertanya, “Darimanakah Al-Qur’an yang di tanganmu ini?”. “Katakanlah: Sesungguhnya ia diturunkan sebagai mukjizat atas perintah Allah swt.”
var curDiv = document.getElementById('ln4');

Analogi kedua makna ini sangat jelas. Roh merupakan alat kehidupan manusia secara fisik materil. Manakala Al-Qur’an adalah roh yang bisa memberi kekuatan dan kehidupan manusia secara psikologis ruhiyah. Hal ini bertepatan dengan ungkapan Malik bin Dinar tentang roh Al-Qur’an:

“Wahai Ahlul Qur’an!, apa yang telah ditanam oleh Al-Qur’an ke dalam lubuk hatimu?. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah penyubur hati sebagaimana hujan yang menyuburkan bumi.”


Dalam konteks ruh yang memiliki pengertian Al-Qur’an, terdapat empat ayat membahasnya, yaitu surah An-Nahl: 2, Ghafir: 15, Asy-Syura: 52 dan Surah Al-Isra’: 58 yang dipahami secara analogis. Tentunya, penamaan Al-Qur’an dengan ruh bukan kebetulan dan tanpa hikmah yang perlu digali oleh hamba-Nya yang merindukan keberkahan dan kekuatan dari Al-Qur’an, seperti juga nama dan sifat lain yang dimiliki oleh Al-Qur’an yang mencerminkan fungsi dan perannya yang komprehensif dan universal. Betapa hanya Al-Qur’an yang bisa diandalkan menyelesaikan masalah kemanusiaan dalam segala bentuknya.


Sayyid Qutb menyatakan pandangannya tentang penamaan Al-Qur’an dengan ruh berdasarkan firman Allah: “(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang memberi ruh dengan (membawa) perintahNya kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).” (Ghafir: 15) bahwa ini merupakan kinayah tentang wahyu. Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan dua hal: pertama, bahwa wahyu (Al-Qur’an) adalah ruh dan kehidupan bagi manusia, tanpa ruh ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan benar. Kedua, bahwa wahyu itu turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Selanjutnya beliau juga menafsirkan ruh dalam ayat-ayat ini sebagai sebuah kekuatan yang menggerakkan, mempertahankan kehidupan di dalam hati, bahkan di dalam kehidupan nyata sehari-hari.


“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)


Kekuatan besar dari sentuhan Al-Qur’an ini dirasakan benar oleh para sahabat Rasulullah karena memang mereka menerima Al-Qur’an ini dengan segenap hati, pikiran dan kemauan mereka. Seperti yang diriwayatkan oleh Ath-Thobroni dan Al-Baihaqi dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa ia berkata:


“Ketika turun surah Az-Zalzalah, maka serentak Abu Bakar yang sedang duduk waktu itu menangis. Maka Rasulullah saw. pun menghampirinya dan bertanya, “Apa yang membuat engkau menangis wahai Abu Bakar?”. Surah inilah yang membuat aku menangis”. Maka Rasulullah menenangkan dengan sabdanya:

“Jika kalian tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan, maka Allah akan menciptakan kaum lain yang mereka itu melakukan salah dan dosa kemudian mereka bertaubat dan Allah mengampuni mereka.”

Dalam riwayat lain dari Abdullah bin Hanthob bahwa Rasulullah saw. pernah membacakan surah ini dalam satu majlis di mana seorang Arab Badui ikut serta duduk bersama. Setelah mendengar ini, lelaki itu lantas keluar sambil menyesali dirinya “alangkah buruknya aku”. Maka Rasulullah mengatakan kepada para sahabatnya, “sungguh iman telah masuk ke dalam hati lelaki badui tadi.”

Maka sangat tepat ungkapan Dr. Yusuf Al-Qaradlawi yang menegaskan bahwa:

“Al-Qur’an adalah “ruh Rabbani” kekuatan Rabbani yang akan mampu menghidupkan dan menggerakkan akal fikiran dan hati. Sebagaimana Al-Qur’an juga undang-undang Allah yang mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan bangsa secara kolektif.”

Syekh Muhammad Al-Ghazali menyebutkan:

“Al-Qur’an inilah kitab yang membentuk jiwa, membangun umat dan kebudayaan mereka. Inilah sesungguhnya kekuatan Al-Qur’an. Namun yang sangat disayangkan bahwa cahaya ini tidak nampak di depan umat Islam karena mata-mata mereka sudah tertutup sehingga aib dalam konteks sekarang ini bukan aib Al-Qur’an, tetapi aib pandangan manusia yang lebih mengagungkan kekuatan lain selain Al-Qur’an. Padahal Allah sudah berfirman, “Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16)

Karenanya esensi seluruh perintah dan petunjuk Al-Qur’an adalah dalam rangka memelihara kehidupan manusia, baik secara fisik maupun psikis. Tanpa panduan dan pedoman ini, kehidupan manusia semakin tidak menentu dan jelas arahnya.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)

Kekuatan lain yang seharusnya kita sadari dari Al-Qur’an yang mulia ini bahwa Al-Qur’an merupakan sistem hidup yang mengarahkan orang-orang yang beriman untuk mewujudkan kehidupan dalam bingkai keimanan. Sebuah hakikat kehidupan yang meliputi segenap komponen yang ada pada diri manusia; menghidupkan fisik, perasaan, getaran jiwa, kemauan, pikiran dan kehendaknya.

“Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir.” (Yaasin: 70)

Ibnu Qutaibah dalam kitab “Tafsir Gharibil Qur’an” memahami kalimat “Hayyan” di dalam ayat ini dengan pengertian seorang mukmin yang hidup karena memperoleh petunjuk Allah swt. demikian juga dengan firman Allah swt

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 122).


Yang dimaksud dengan orang yang hidup dalam ayat ini adalah orang yang beriman dan orang yang mati adalah orang kafir. Makanya Allah membedakan keduanya dengan menggunakan istilah ini juga di dalam firman-Nya: “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.” (Fathir: 22)


Sesungguhnya, berbagai ujian yang mengejutkan bangsa ini semakin membuktikan hakikat yang tidak terbantahkan akan kelemahan manusia dan hajat mereka akan pertolongan Allah swt. bahwa sesungguhnya sumber kekuatan satu-satunya adalah Allah yang menciptakan segalanya dan kita akan meraih kekuatan itu dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber kehidupan dan kekuatan kita

Sekali lagi, Allah swt. mengingatkan kita akan kekuatan Al-Qur’an.

“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: “Peringatkanlah olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (An-Nahl: 2)

Memang sudah saatnya bagi kita untuk menerima Al-Qur’an dengan segenap perasaan, pikiran dan kehendak kita dan tidak mengharap atau menggantungkan kekuatan lain di luar dari kekuatan firman-Nya.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Hadid: 16).

Selama kita masih mengharap datangnya kekuatan lain, maka selama itu pula kita tidak akan meraih kehidupan yang mulia di bawah bimbingan dan naungan Al-Qur’an

Ketika Cinta dan Dakwah Berpadu

Persaudaraan kadang seperti tingkah dahan-dahan yang ditiup angin. Walau satu pohon, tak selamanya gerak dahan seiring sejalan. Adakalanya seirama, tapi tak jarang berbenturan.

Indahnya persaudaraan. Sebuah anugerah Allah yang teramat mahal buat mereka yang terikat dalam keimanan. Segala kebaikan pun terlahir bersama persaudaraan. Ada tolong-menolong, terbentuknya jaringan usaha, bahkan kekuatan politik umat.

Namun, pernik-pernik lapangan kehidupan nyata kadang tak seindah idealita. Ada saja khilaf, salah paham, friksi, yang membuat jalan persaudaraan tidak semulus jalan tol. Ketidakharmonisan pun terjadi. Kebencian terhadap sesama saudara pun tak terhindarkan.

Muncullah kekakuan-kekakuan hubungan. Interaksi persaudaraan menjadi hambar. Sapaan cuma basa-basi. Tidak ada lagi kerinduan. Sebaliknya, ada kekecewaan dan kebencian. Suatu hal yang sulit ditemukan dalam tataran idealita persaudaraan Islam.

Lebih repot lagi ketika disharmoni itu menular ke orang lain. Keretakan persaudaraan bukan lagi hubungan antar dua pihak, bahkan merembet. Penyebarannya bisa horisontal atau ke samping, bisa juga vertikal atau atas bawah. Para orang tua yang berseteru, anak cucu pun bisa ikut kebagian.

Rasulullah saw. pernah mengingatkan itu dalam sabdanya, “Cinta bisa berkelanjutan (diwariskan) dan benci pun demikian.” (HR. Al-Bukhari)

Waktu memang bisa menjadi alat efektif peluntur kekakuan itu. Saat gesekan menghangat, perjalanan waktulah yang berfungsi sebagai pendingin. Orang menjadi lupa dengan masalah yang pernah terjadi. Ada kesadaran baru. Dan kerinduan pun menindaklanjuti.

Kalau berhenti sampai di situ, bisa jadi, perdamaian cuma datang dari satu pihak. Karena belum tentu, waktu bisa menjadi solusi buat pihak lain. Kalau pun bisa, sulit memastikan bertemunya dua kesadaran dalam rentang waktu yang tidak begitu jauh.

Perlu ada cara lain agar kesadaran dan perdamaian bertemu dalam waktu yang sama. Dan silaturahim adalah salah satunya. Inilah cara yang paling ampuh agar kekakuan, ketidaksepahaman, kekecewaan menjadi cair. Suasana yang panas pun bisa berangsur dingin.

Dengan nasihat yang begitu sederhana, Rasulullah saw. mengajarkan para sahabat tentang keunggulan silaturahim. Beliau saw. bersabda, “Siapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah menyambung tali silaturahim.” (Muttafaq ‘alaih)

Menarik memang tawaran Rasul tentang manfaat silaturahim: luasnya rezeki dan umur yang panjang. Dua hal tersebut merupakan simbol kenikmatan hidup yang begitu besar. Bumi menjadi begitu luas, damai, dan nyaman. Sehingga, kehidupan pun menjadi sangat berarti.

Masalahnya, tidak mudah menggerakkan hati untuk berkunjung ke orang yang pernah dibenci. Mungkin masih terngiang seperti apa sakitnya hati. Begitu berat beban batin. Berat. Terlebih ketika setan terus mengipas-ngipas bara luka lama. Saat itulah, setan memposisikan diri seseorang sebagai pihak yang patut dikunjungi. Bukan yang mengunjungi. Kalau saja bukan karena rahmat Allah, seorang mukmin bisa lupa kalau ‘izzah bukan untuk sesama mukmin. Tapi, buat orang kafir.

Firman Allah swt. “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap adzillah (lemah lembut) terhadap orang mukmin, yang bersikap ‘izzah (keras) terhadap orang-orang kafir….” (QS. 5: 54)

Setidaknya, ada tiga persiapan yang mesti diambil agar silaturahim tidak terasa berat. Pertama, murnikan keinginan bersilaturahim hanya karena Allah. Ikatan hati yang terjalin antara dua mukmin adalah karena anugerah Allah. Ikatan inilah yang menembus beberapa hati yang berbeda warna menjadi satu cita dan rasa. Sebuah ikatan yang sangat mahal.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (QS. Al-Anfal: 63)

Jangan pernah selipkan maksud-maksud lain dalam silaturahim. Karena di situlah celah setan memunculkan kekecewaan. Ketika maksud itu tak tercapai, silaturahim cuma sekadar basa-basi. Silaturahim tinggallah silaturahim, tapi hawa permusuhan tetap ada.

Kedua, cintai saudara seiman sebagaimana mencintai diri sendiri. Inilah salah satu cara mengikis ego diri yang efektif. Ketika tekad ini terwujud, yang terpikir adalah bagaimana agar bisa memberi. Bukan meminta. Apalagi menuntut.

Akan muncul dalam nurani yang paling dalam bagaimana bisa memberi sesuatu kepada saudara seiman. Termasuk, memberi maaf. Meminta maaf memang sulit. Dan, akan lebih sulit lagi memberi maaf.

Hal inilah yang paling sulit dalam tingkat keimanan seseorang. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu, sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.”

Ketiga, bayangkan kebaikan-kebaikan saudara yang akan dikunjungi, bukan sebaliknya. Kerap kebencian bisa menihilkan kebaikan orang lain. Timbangan diri menjadi tidak adil. Kebaikan yang bertahun-tahun bisa terhapus dengan kesalahan semenit

Maha Benar Allah dalam firmanNya, “…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa….” (QS. 5: 8)

Tak ada yang pernah dirugikan dari silaturahim. Kecuali, tiupan angin ego yang selalu ingin dimanjakan. Karena, ulahnya tak lagi membuat tangkai-tangkai dahan berbenturan.

About " Love "

Cinta merupakan cermin bagi seorang

yang sedang jatuh cinta untuk

mengetahui watak dan kelemah-lembutan

dirinya dalam citra kekasihnya, karena

sebenarnya ia tidak jatuh cinta

melainkan terhadap dirinya sendiri "

( Ibnu Qayyim Al-Jauziyah )

Six Fasts of Shawwal

Shawwal is the tenth month of the Islamic lunar calendar. It comes immediately after Ramadan. Shawwal is also the first month of the Ashhur al -hajj - (the months of Hajj). Eidul Fitr also occurs in this month. Regarding the six fasts of Shawwal Abu Ayyub (ra) reports: The Messenger of Allah (PBUH) said,

"He who observes As-Saum (the fasts) in the month of Ramadan, and also observes As-Saum for six days in the month of Shawwal, it is as if he has observed As-Saum for the whole year.''
[Muslim].

According to the formula that there is at least ten-fold reward for every virtue, the Saum of one month (Ramadan) are equivalent to Saum of ten months. If one also observes six days of Saum of Shawwal, they will be equal to Saum of two months. Thus, one becomes eligible for the reward of one full years' Saum. He who makes it a permanent feature is like one who observes Saum throughout his life. He will be considered by Allah as one who observes Saum permanently. Although voluntary in nature, they are highly important. One can observe these six-day Saum at a stretch or with intervals, but their observance one after the other at the beginning of the month is better. Similarly, if a person has missed some Saum of Ramadan due to illness, traveling etc., he should first make up the shortfall and then observe the voluntary six-day Saum of Shawwal.

Abbas congratulates Olmert on the Jewish new year

PA President Mahmoud Abbas phoned Ehud Olmert, the Prime Minister of the Israeli care-taker government and extended his congratulations to him and to the Israeli people on the advent of the Jewish new year, according to Israeli radio.

The telephone call took place on Monday afternoon, according to the radio broadcast, during which Abbas and Olmert had a chat and Olmert congratulated the Muslims on the advent of Eid al-Fitr.

Abbas, who also called the new Kadima leader, Tzipi Livni to extend seasons greetings, agreed on a meeting with Olmert to take place in the near future.

The Israeli occupation army has sealed the West Bank starting Monday morning until Wednesday so that the Israelis could celebrate their new year[ˈʁoʃ haʃaˈna], while the Palestinians celebrate their Eid caged into their villages and towns.

Should a moslem extended congratulations to the colonialist new year??????